Pages

Perempuan & Jurnalistik

Dunia jurnalistik adalah dunia yang penuh tantangan. Diperlukan tekad dan mental yang kuat untuk menggelutinya. Pekerjaan ini mayoritas dipegang oleh laki-laki, apalagi yang menyangkut dunia kewartawanan. Profesi sebagai wartawan dianggap penuh resiko, karena menyangkut keselamatan diri yang menjadi taruhannya. Banyak kasus wartawan yang ditawan karena menguak peristiwa rahasia dimana orang yang bersangkutan tidak ingin informasinya tersebar luas kepada khalayak.

Terutama pada zaman Soeharto, di zaman ini kebebasan pers sangat tekekang. Media massa berada dalam kawasan penuh pemerintah, dimana para wartawan tidak bisa menyajikan berita macam-macam tentang kepemerintahan, terutama menguak otorias Soeharto dibalik kekuasaan pemerintah. Segala pemberitaan mengenai kepemerintahan dikontrol penuh oleh pemerintah, jadi informasi di media massa mengenai hal tersebut merupakan rujukan langsung dari pemerintah. Apabila ada media massa yang memberitakan hal buruk mengenai pemerintah, maka media massa tersebut terancam dibredel alias dibubarkan. Begitulah kurang lebih nuansa dunia kejurnalistikan sebelum Orde Baru. Hal ini mungkin menjadi salah satu alasan kenapa profesi wartawan selalu didominasi oleh kaum laki-laki.

Namun dewasa ini, perempuan-perempuan Indonesia mulai merambah ke dunia yang semula hanya didominasi oleh kaum laki-laki seperti, otomotif, elektronik, politik dan tentu saja jurnalistik. Hal ini terjadi sebagai salah satu bentuk pembuktian emansipasi atau persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Memang kuantitas jurnalis perempuan masih minim bila dibandingkan dengan laki-laki, perbandingannya kurang lebih 91,4% pria dan 8,6% wanita. Tetapi jumlah ini mununjukkan eksistensi perempuan dalam berbagai bidang terutama jurnalistik.

Sebelumnya eksploitasi terhadap perempuan melalui media massa baik secara terang-terangan dan vulgar maupun yang secara halus dengan dalih artistik dalam kehidupan masyarakat modern terlihat sangat jelas. Bahkan hal ini berlanjut sampai sekarang, sementara perempuan yang  menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual tidak memperoleh kesempatan untuk mengungkapkan apa yang mereka alami secara gamblang. Perempuan sebagai objek media massa merupakan kenyataan ketidakadilan gender. Hal ini berawal dari budaya patriarki yang sudah mendarah daging di negara kita.

Selain dalih nilai dan norma budaya, persepsi kedudukan pria dan wanita dalam perspetif agama tidaklah sama. Tercermin dari dogma-dogma dimana seorang wanita terutama para istri yang diharuskan untuk tunduk dan patuh terhadap suami.

Penggambaran perempuan di sejumlah media massa, masih didominasi berita kekerasan terhadap perempuan,  sementara pemberitaan mengenai kiprah perempuan masih berada di bawahnya. Pemberitaan tentang perempuan di media massa dan televisi pun masih menonjolkan peran perempuan di ranah domestik daripada ranah publik.

Masih banyak media-media yang tetap menjadikan perempuan sebagai objek dan cenderung mendiskreditkan perempuan, semuanya karena kepentingan rating dan kapitalisme. Sementara pemberitaan mengenai kiprah perempuan masih kurang. Dengan mulai merambahnya perempuan ke dunia kejurnalistikan, mungkin dapat mengurangi bahkan menghapus pemberitaan-pemberitaan yang berbau ekploitasi terhadap perempuan melalui media massa.

Memang banyak sekali para wanita tuna-susila yang juga memanfaatkan media massa untuk mempromosikan tidak asusilanya demi meningkatkan penghasilan dan terkesan lebih elit. Dengan bermacam-macam dalih mereka melakukan hal tersebut, baik secara tertutup maupun terang-terangan. Apalagi di media internet, dimana semua foto, video atau bentuk dokumen-dokkumen lainnya dapat diakses secara bebas dan gratis. Miris sekali melihat kenyataan seperti ini.

 Para artis berlomba-lomba meminimalisir kain yang dia gunakan sebagai pakaian dan memamerkan auratnya di media massa. Terjadi kesalahan pemahaman dalam mengartikan profesionalisme pekerjaan. Mereka mengorbankan nilai-nilai akidahnya demi popularitas yang ia dapat belum lagi jam terbang yang bertambah dan mengantrinya tawaran-tawaran kontrak kerja yang nilainya berpuluh-puluh juta rupiah.

 Sebenarnya di dunia semoderen ini banyak sekali pekerjaan yang jauh lebih layak bagi para wanita. Tidak sekedar menjual tubuhnya demi sesuap nasi, tapi lebih dari itu. Kita sebagai wanita pasti bisa melakukan hal yang luar biasa membuktikan kepada dunia kalau kita bisa, bisa merubah dunia. Ikut berperan dalam pembangunan negara dan menjadi pemeran utama bukan hanya sebgai aktor pendukung saja.

 Salah satu contoh jurnalis wanita yang telah merambah ke dunia internasional adalah Mba Yayu Yuniar. Ia adalah seorang jurnalis internasional di Wall Street Amerika. Mba yayu ini sebelumnya juga merasai bagaimana menjadi menjadi wartawan surat kabar lokal dan nasional. Dan sekarang ia telah membuktika eksistensinya di dunia internasional sebagai wartawan yang profesional, mampu mengkondisikan diri dalam tugas berbahaya sekalipun. “Selalu ada jalan bila kita mempunyai kemauan keras”, ujarnya.

 Tidak hanya beliau, selanjutnya giliran kita yang akan menggantikan serta meningkatkan kualitas dan kuantitas wanita luar biasa seperti Mba Yayu Yuniar.

Related Post



Post a Comment