Pages

Revolusi Seksual, Menciptakan Seksualitas Plastis & Demokrasi Keintiman

Seksualitas, menurut Giddens, yang mengutip dari Foucault, mendefinisikan seksualitas sebagai konstruksi sosial yang beroperasi dalam wilayah-wilayah kekuasaan. Ia bukan sekedar sekumpulan dorongan biologis yang menemukan atau tidak menemukan pelepasannya. Menurut Weeks, kebanyakan mengenai kata-kata, imaji-imaji, ritual dan fantasi menyangkut tubuh : cara manusia berpikir mengenai model-model seks dan cara menusia hidup dengannya.


Seksualitas sendiri, merupakan ungkapan yang muncul pertama kali pada abad ke-19. Kata tersebut muncul dalam istilah teknis biologi dan ilmu hewan pada permulaan tahun 1800. Tetapi baru pada akhir abad ke-19 kata tersebut mulai digunakan secara luar dalam pemaknaan yang terbuka.



Selanjutnya, istilah seksualitas secara umum memiliki makna luas, meliputi hasrat-hasrat erotis, praktis-praktis dan identitas-identitas erotisme. Pada akhirnya, seksualitas merupakan fenomena sosial yang sangat dipengaruhi oleh faktor gender. Intinya, perbedaan sosial dan hubungan hieararkis antara laki-laki dan perempuan sangat mempengaruhi kehidupan seksualitas manusia.

Globalisasi secara prinsipil merujuk pada perkembangan yang cepat dalam teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang membuat dunia semakin menyusut. Suatu daerah yang paling terpencil sekalipun menjadi mudah untuk tercapai. Teknologi komunikasi dan informasi sedemikian menentukan dan menjadi aktor atau agen dari globalisasi kultural yang melahirkan budaya global sebagai produknya. Revolusi teknologi komunikasi dan informasi semakin memperluas peran media bahkan hingga merambah wilayah-wilayah yang semula tabu untuk didiskusikan, yakni seksualitas.

Di era globalisasi ini, setidaknya muncul pewacanaan seksualitas yang bisa dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, wacana liberasi seksual yang mengkritisi moral konvensional dengan menampilkan beragam seksualitas plastis dengan pilihan-pilihan politik hidup alternatif dari kaum kosmopilit global, yang lebih mementingkan substasi atau prinsip-prinsip dasar universal dan semangat demokrasi keintiman, antara lain dengan adanya komitmen, kesetaraan seksual, dan kesepakatan yang saling menguntungkan dan kebebasan sosial. Sebagian aktor-aktor lokal beradaptasi dengan nilai-nilai tersebut dan menjadi bagian dari identitas kaum kosmopolit global. Muncul tolerensi kosmopolit di mana individu-individu lebih terbuka dan jauh lebih toleran atas beragam gaya hidup serta gagasan-gagasan yang menyertainya.

Kedua, wacana yang resisten terhadap apa yagn dibawa oleh nilai-nilai kosmopolit global (globalisme). Ini dipresetasikan oleh wacana propoligami dan lainnya yang berasal dari kelompok fundamentalis islam dan kaum moralis tradisional yang berupaya mencari solusi atas persoalan sosial dengan cara mereproduksi gagasan-gagasan seksualitas terpusat. Globalisasi kultural dengan pesan-pesan kebebasannya yang tengah merambah dan menguasai kehidupan masyarakat kosmopolit dianggap telah mengancam eksistensi tradisi dan nilai-nilai agama yang sejak lama dipertahankan secara konvensional.

Ketiga, wacana-wacana pembebasan perempuan yang dilancarkan oleh kelompok aktifis feminis dalam rangka merespons wacana-wacana seksualitas terakhir, khususna poligami. Di sini mereka cenderung bersikap adaptif dengan proses globalisasi, khususnya globalisasi kultural yang menyangkut gagasan-gagasan kebebasan dan peningkatan manfaat bagi perempuan atas dasar persamaan dan HAM.

Globalisasi dalam praktiknya tidak hanya terjadi ditataran wilayah ekonomi dan politik makro, tapi terutama membawa implikasi-implikasi di wilayah kultural hingga level yang paling mikro, yakni kehidupan seksualitas individu. Proses globalisasi kultural pada gilirannya menghasilkan kultur global dimana individu-individu hampir diseluruh penjuru dunia merasa menjadi bagian dari budaya baru yang di share sebagai milik warga dunia. Hal ini dimungkinkan melalui perkembangan teknologi komunikasi yang mampu melampaui batas-batas suatu negara dan membentuk suatu komunitas global di sebuah arena bersama, layaknya kampung global.

Dalam konteks ini peran media massa sangat penting. Sebagai aktor global ia memproduksi dan mentransmisikan pesan-pesan global ke wilayah-wilayah lokal sebagai bagian dari proses globalisasi, yang kemudian direspons dengan berbagai cara oleh aktor-aktor lokal. Setidaknya ada tiga bentuk respons, yaitu adaptif, selektif dan resisten yang semuanya tidak lepas dari proses globalisasi.

Respons aktor-aktor lokal terhadap wacana seksualitas global pada dasarnya memperlihatkan adanya relasi struktur dan agen dalam proses restrukturasi seksualitas saat ini. Selain itu, ia menegaskan tesis feminis bahwa seksualitas merupakan hasil konstruksi sosial yang secara aktif dikonstruksikan oleh individu-individu melalui cara-cara mereka merumuskan seksualitasnya.

Dalam temuan peneletian mengenai wacana seksualitas global, terlihat adanya proses globalisasi kultural yang tengah berlangsung. Bagaimana kaum kosmopolit di kota-kota besar seperti Jakarta memaknai pilitik kehidupan sehari-hari, khususnya diwilayah intim, yang kaitannya dengan institusi perkawinan dan kehidupan kelluaraga, tercermin melalui respons mereka terhadap berbagai wacana tersebut di era globalisasi ini.

Namun, setelah ditemukan dan digunakannya alat kontrasepsi menjadi faktor pendorong pemisahan total antara seksualitas dan reproduksi. Hal ini menjadi dasar dari revolusi seksual yang telah membawa implikasi luar biasa terhadap perubahan diwilayah seksualitas yang kemudian berdampak pada institusi perkawinan dan keluarga. Kemudian muncul sebuah istilah yang disebut Giddens sebagai “seksualitas plastis”, yakni sejenis seksualitas yang tak terpusat yang terbebas dari kebutuhan-kebutuha reproduksi. Fenomena ini merupakan sesuatu yang krusial bagi emansipasi.

Saat ini sedang marak-maraknya kemunculan revolusi global yang tengah berlangsung di era globalisasi saat ini, mengenai bagaimana setiap individu memahami dirinya sendiri dan membangun ikatan atau hubungan dengan orang lain. Dengan kata lain, sebuah revolusi global yan gdalam konteks ini terjadi di wilayah intim : seksualitas dan perkawinan. Dahulu, seksualitas didominasi oleh kepentingan reproduksi. Seksualitas harus diarahkan semata-mata hanya pada hubungan perkawinan dengan tujuan membentuk keluarga. Keluarga merupakan suatu unit organisasi yang paling kecil di masyarakat, dimana laki-laki sebagai suami menjadi kepala keluarga dan bertugas untuk mencari nafkah, perempuan sebagai istri menjadi ibu rumah tangga yang mengatur serta melayani segala kebutuhan anggota keluarga dan anak-anak sebagai anggota keluarga yang bertugas membantu kedua orang tuanya serta menurut terhadap semua perintah dan nasihat mereka, disamping itu sebagai generasi muda anak-anak juga memiliki kewajiban untuk belajar dan bersekolah demi meningkatkan taraf hidup keluarga dan negara di masa yang akan datang.

Dari topik-topik yang mewarnai pewacanaan ini terlihat adanya pergeseran pandangan maupun praktik sosial, terkait dengan kehidupan seksualitas, khususnya yang muncul dikalangan kosmopilitan. Persepsi tentang kebebasan, praktik perselingkuhan, hidup melajang, dan pilihan orientasi seksual tidak lagi diwarnai oleh anggapan-anggapan normatif yang disosialiasasikan selama ini di masyarakat.

Pilihan untuk menikmati hidup sepuas-puasnya dengan melajang, manjalani kehidupan sebagai lesbian atau gay ataupun biseksual atau bahkan melakukan kehidupan bersama atas dasar pertimbangan rasional dengan kesadaran penuh akan segala konsekuensinya dan landasan seperangkat nilai baru yang dibangun bersama, seperti prinsip kesepakatan, komunikasi dan komitmen yang setara serta menguntungkan kedua belah pihak. Semua ini menggantikan nilai-nilai konvensional yang menjadi dasar sebuah hubungan terutama perkawinan.

Semua wacana tersebut menunjukkan individu-individu yang semakin refleksif, yakni menggantungkan keputusan pada diri mereka sendiri secara kritis dan berpengetahuan. Serta berani mengambil resiko untuk  memilih secara bebas bentuk-bentuk seksual yang hakikatnya semakin lepas dar cengkraman tradisi. Mereka tidak lagi memandang fenomena tersebut secara hitam-putih atau baik-buruk berdasarkan standar moralitas konvensional, mereka justru lebih toleran menyikapi isu-isu tersebut danikut memberi pemaknaan baru terhadapnya.

Dalam wacana mengenai hidup bersama, pesan-psan yang termuat didalamnya adalah bahwa menjalani hidup bersama bukan sesuatu yang tabu dan bisa dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak, asal tidak merugikan satu sama lain. Perlu pertimbangan yang disandarkan pada akal sehat dan pikiran rasional mengenai untung ruginya mengingat ada kendala dan hambatan praktinya.

Resiko-resiko yang muncul di era globalisasi ini tidak hanya berurusan dengan gejala-gejala alam tapi juga menyangkut gejala-gejala sosial. Kehidupa sosial di wilayah intim, seksualitas dan keluarga tak pelat lagi semakin terbuka dengan resiko. Ketika seorang perempuan kosmopolit tersebut memilih untuk menjalani hidup bersama, mencari kehidupan yang lebih bebas, hidup melajang atau hidup dengan orientasi seksual berbeda serti beseksual atau lesbian, pada dasarnya ia telah memilih kehidupan  yang penuh resiko dan tentunya lepas dari cengkraman tradisi. Misalnya, perempuan yang harus berhadapan dengan konstruksi seksualitas, terutama yang dihadapkan dengan harapan-harapan orang terdekat mereka seperti keluarga yang dituntut untuk menjalankan peran keperempuannya sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang sudah konvensional dan menjadi tradisi seperti menjadi seorang istri dan ibu.

Meskipun demikian mereka tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang “salah” pada diri mereka dan menjadi orang yang “berbeda” adalah suatu pilihan.

Mereka jelas tidak lagi bersandar pada aturan konvensional, melainkan kritis terhadapnya. Yang menjadi dasar pertimbangan serta keberanian mereka terjun ke dunia penuh resiko adalah keterbukaan dan semangat toleransi kaum kosmopolitan, penghargaan terhadap plurarisme, serta nilai-nilai kesetaraan dan keadilan.

Demikian, pada akhirnya gagasan mengenai cinta romantis dan hubungan yang lebih adil dan setara sebagai dasar suatu perkawinan telah menggantikan gagasan perkawinan sebagai kontrak ekonomi dan nilai-nilai lama menyangkut jenis kelamin.

Related Post



Post a Comment